Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud / Grebeg maulud . Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.



Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).

Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.



Gunungan yang di arak dari keraton ke masjid agung sudah berada dipendopo masjid untuk didoakan. Setelah selesai didoakan tak lebih dari 20 menit Gunungan langsung ludes dan yg tersisa tinggal puing dan beberapa potongan gunungan yang berserakan. Potongan-potongan ini pun masih menjadi incaran para pencari berkah yang tidak sanggup ikut berebut. para pengais sisa grebeg ini didominasi para wanita yang sudah berumur.

Berebut adalah tradisi saat grebeg maulud, menjadi suatu kebiasaan untuk saling mendahului mendapatkan bagian dari gunungan. Sampai diluar pendopo pun hasil yang sudah ditangan masih juga direbut oleh warga yang lain. Keamanan tetap terjaga walaupun saling sikut untuk mendapatkan bagian gunungan yang diinginkan. Membawa pulang bagian dari gunungan untuk beberapa orang dipercaya membawa berkah. Penuturan dari salah satu warga: Jika diletakan atau ditanam didekat tanaman yang tidak berbuah bisa membuat pohon tersebut berbuah bahkan sangat lebat. Untuk urusan ini, saya kasih catatan: untuk yang percaya saja.